A.
Prinsif dasar pelaksanan evaluasi
pendidikan jasmani di sekolah
Proses pembelajaran merupakan sebuah rangkaian kegiatan yang dimulai
dari merencanakan, melaksanakan sampai dengan evaluasi serta menyelenggarakan tindak lanjut dalam kegiatan
belajar-mengajar. Tingka keberhasilan guru Pendidikan Jasmani dalam tugas
mengajar, dapat dilihat dari hasil belajar yang dicapai oleh para muridnya.
Untuk mengetahui hasil yang dicapai oleh muridnya tersebut, guru perlu melakukan
suatu kegiatan evaluasi terhadap kegiatan belajar siswa. Evaluasi merupakan suatu bahan yang digunakan
dalam memproleh informasi. Hasil
kegiatan evaluasi tersebut akan memberikan gambaran kepada guru dalam menyusun
program berikutnya. Gambaran tersebut
dapat bersifat baik atau sebaliknya, dengan demikian akan memberi kesempatan
kepada guru untuk melakukan program perbaikan (remidial) atau pengayaan.
a. Prinsip-Prinsip Evaluasi
Sebagai seorang guru yang profesional
untuk melakukan evaluasi atau menilai muridnya perlu memperhatikan beberapa prinsip-prinsip
penilaian sebagai berikut:
1. Objektif
Setiap guru untuk menilai muridnya harus bersifat objektif
tanpa dipengaruhi oleh pribadinya. Apa yang dinilai oleh guru tersebut tidak
membedakan murid yang satu dengan murid lainnya, yang disenangi atau tidak disenangi sehingga
nilai yang dihasilkan oleh para murid tersebut betul-betul merupakan hasil yang
didapatkan oleh murid sendiri yang sebenarnya.
2. Reliabel
Dalam menilai murid dengan instrumen penilai dapat dipercaya
dan diandalkan, instrumen penilaian tersebut, dilaksanakan dengan sistimatis
dan kriteria yang jelas keberhasilannya serta dapat dilaksanakan oleh siapa
saja.
3. Menyeluruh
penilaian ini bersifat menyeluruh yang meliputi aspek proses
pembelajaran dan keberhasilannya sehingga terlihat perubahan tingkah laku
murid. Dengan demikian penilaian yang bersifat menyeluruh tersebut meliputi
pengetahuan, sikap, keterampilan dan kemampuan terhadap nilai yang berlaku di
masyarakat.
4. Berkesinambungan
Penilaian dilakukan secara terencana bertahap, dan terus-menerus. Dengan
demikian akan mendapatkan gambaran tentang hasil dari pembelajaran berupa
perubahan tingkah laku siswa yang meliputi pengetahuan sikap dan keterampilan.
B.
Manfaat Evaluasi
Adapun manfaat yang terdapat dalam kegiatan evaluasi pendidikan jasmani yaitu:
Ø Evalauasi dapat memberikan dorongan
atau motivasi bagi peserta didik dalam berolahraga.
Ø Evaluasi untuk memberi bantuan dalam
pengelompokan peserta didik untuk tujuan-tujuan tertentu.
Ø Evaluasi memberikan data bukti untuk
dilaporkan kepada orang tua dan masyarakat , yaitu pihak-pihak yang
memerlukan keterangan-keterangan tentang seseorang anak-didik
Ø Evaluasi bertujuan untuk mengetahui
letak kelemahan-kelemahan peserta didik
Ø Evaluasi untuk mengetahui apa yang
telah dicapai dalam pelajaran olahraga
Ø Evaluasi dapat memberikan data untuk
keperluan penelitian atau risert.
Ø Evaluasi bertujuan untuk
mengetahui letak kelemahan dimana
potensi anak-didik itu berbeda
Ø Evaluasi untuk mengadakan seleksi
Ø Evaluasi dapat memberikan bantuan dalam bimbingan kearah pemilihan yang
sesuai dengan kemampuan peserta didik
Ø Pentingnya evaluasi untuk memantau
kemajuan dan pencapaian tujuan belajar
C.
Tantangan Pelaksanaan Evaluasi
Pendidikan Jasmani Di Sekolah
Dunia yang semakin mengglobal sekarang ini, bergerak dan
berubah semakin cepat dan kompetitif terutama dalam ilmu pengetahuan dan
teknologi. Semua bidang mengalami pergeseran dan tantangan, termasuk lembaga
pendidikan. Lembaga pendidikan menghadapi tantangan serius untuk mampu
mengikuti sekaligus berada digarda depan perubahan global tersebut. Kalau tidak
mampu menjawabnya, maka lembaga pendidikan tidak akan berwibawa di hadapan roda
dinamika zaman yang berjalan dengan cepat. Bahkan, lembaga pendidikan akan dianggap
tidak mampu mengantisipasi realitas kekinian yang terjadi.
Karena itu, tidak ada waktu santai bagi dunia pendidikan
dalam merespon secara cepat perubahan global tersebut. Ia harus mendinamisasi
diri secara massif dan akseleratif agar mampu mengejar ketertinggalan dan mampu
memimpin perubahan masa depan yang meniscayakan kreativitas tinggi,
produktivitas memadai, dan daya jangkau yang mendunia. Reformasi besar-besaran
harus segera dilakukan lembaga pendidikan jika tetap ingin survive dan
memenangkan kompetensi terbuka. Infra dan supra struktur harus dilengkapi,
didefinisikan ulang, dan diorientasikan ulang secara efektif, baik konsep
maupun implementasinya.
Laporan kompas (20/4/2009) menjelaskan, betapa
prguruan-perguruan tinggi disingapura sudah jauh-jauh hari mengirim tim khusus
untuk mengamati dan bernegosiasi dengan para pelajar berprestasi di Indonesia
dengan iming-iming fasilitas memadai dan masa depan yang prospektif agar mereka
melanjutkan studi dan bekerja disana. Ini adalah tamparan keras bangsa ini.
Asset-aset potensial masa depan ditelantarkan bangsa sendiri dan dimanfaatkan
pihak asing untuk kepentingannya.
Kalau realitasnya seperti ini, kapan bangsa ini bisa sejajar
dengan bangsa-bangsa yang maju. Jika sumber daya manusia yang cerdas dan kreatif
diangkut ke negeri asing dan dijadikan tenaga professional di negeri mereka,
maka yang tersisa di negeri ini tentu kader-kader muda yang rendah kualitasnya,
kurang percaya diri menghadapi perubahan, dan malas belajar. Kedepan bangsa ini
menjadi bangsa yang miskin dan terbelakang, menjadi budak di negeri sendiri,
tanahnya menjadi rebutan investor asing dan kesejahteraan semakin jauh dari
harapan.
Disinilah urgensi lembaga pendidikan meneropong
tantangan-tantangan dunia dengan kecepatan tinggi, mendeskripsikannya secara
detail, menyiapkan langkah-langkah terukur dan sistematis, dan berjuang
mewujudkan mimpi besar sebagai Negara yang melek ilmu pengetahuan dan
teknologi. Murid-murid berprestasi diperhatikan dengan serius, diberikan
beasiswa penuh untuk melanjutkan ke tingkat yang lebih tinggi di berbagai
perguruan tinggi, baik di dalam dan luar negeri, dan memberikan prospek
pekerjaan cerah sesuai dengan bidang keahliannya. dari sinilah, pelan tapi
pasti, bangsa ini akan mengalami perkembangan signifikan dalam penguasaan
iptek. Intinya semua berawal dari penataan lembaga pendidikan yang efektif yang
melahirkan aktor-aktor genius masa depan
yang kreatif.
Prof. Dr. Mastuhu, M.Ed memotret tentang tantangan lembaga
pendidikan dalam dua kategori, yaitu tantangan eksternal dan internal.
a.
Tantangan
eksternal
Adapun
tantangan eksternal yang dirasakan dan dialami dunia pendidikan saat ini antara
lain:
1. Globalisasi
Globalisasi sering diterjemahkan dengan istilah mendunia.
Suatu entitas, betapa pun kecilnya, disampaikan oleh siapa pun, di mana pun dan
kapan pun, akan dengan cepat menyebar ke seluruh pelosok dunia, baik berupa
ide, gagasan, data, informasi, produksi, pembangunan, sabotase, dan sebagainya;
begitu disampaikan, saat ini pula diketahui oleh semua orang di seluruh dunia.
Globalisasi, selain menghadirkan peluang positif, juga dapat
menghadirkan peluang negatif, yaitu menimbulkan keresahan, penderitaan, dan
penyesatan.
2. Kompleksitas
Prof. Dr. mastuhu, M.Ed memotret tentang tantangan lembaga
pendidikan dalam dua kategori, yaitu tantangan
eksternal dan internal, Menata Ulang Pemikiran Sistem Pendidikan
Nasional dalam Abad 21 (2003). Kompleksitas mengesankan bahwa sesuatu terjadi
secara serentak, sekaligus, dalam waktu yang sama, dan semrawut. Saat ini,
semua pihak, terutama para pesaing, pemimpin perusahan, supplier, distributor,
ilmuwan, dan pemimpin, berada dan berlomba dalam perubahan yang terus menerus.
3. Turbulence
Turbulence adalah suatu daya atau kekuatan yang dahsyat
bagaikan membangunkan harimau tidur di tengah-tengah system kehidupan yang
berjalan rutin, normal dan damai. Turbulence berasal dari istilah yang
menggambarkan kekuatan dahsyat dari tengah mesin seperti “mesin turbo” untuk
menggambarkan menggambarkan kekuatan mobil yang berkemampuan tinggi. Hasil dari
Turbulence adalah daya ledak atau daya ubah yang luar biasa,
memporak-porandakan system peluang emas bagi para pelaku system.
4. Dinamika
Inti pengertian dinamika adalah perubahan. Suka atau tidak
suka, kita harus menyambut perubahan. Paradigma baru dalam memandang dinamika
adalah makin dinamis sesuatu, ia makin stabil, dan stabilitas yang makin kokoh
akan semakin menjamin dinamika tinggi pula bagaikan “gangsing” yang berputar
cepat, makin cepat perputaran, makin stabil keseimbangannya. Sebaliknya, makin
lambat perputaran atau gerakannya, makin tidak stabil dan akhirnya jatuh.
Tetapi masalahnya adalah gerakan dinamika yang semakin tinggi juga membuka
peluang benturan antara berbagai komponen atau mata rantai elemen yang menjadi
unsur-unsur dari system yang bersangkutan, dan terbuka peluang catastrophes
(kecelakaan atau kegagalan).
5. Akselerasi
Akselerasi adalah gerak naik atau gerak maju yang dalam era
informasi hal itu adalah perubahan, dengan kata-kata kunci akselerasi cepat dan
meningkat; di dalam dunia bisnis, faktor kunci yang menentukan sukses adalah
kompetisi.
6. Keberlanjutan dari Kuno Menuju modern
Ada suatu kenyataan bahwa yang modern tidak begitu saja lahir
dan mengada atau exist tanpa yang tradisional. Sebaiknya, yang tradisional
hanya akan menjadi dongeng masa lalu tanpa diinjeksi dengan temuan, nilai,
pemikiran, semangat, dan harapan baru. Dalam zaman modern ini, orang dituntut
untuk tetap melestarikan nilai-nilai lama, yang luhur yang bermoral dan seterusnya,
sekalipun dari dimensi teknokratiknya terdapat hal-hal tertentu yang harus
sudah ditinggalkan karena sudah tidak cocok lagi dengan masalah yang dihadapi
dengan tetap bersumber pada nilai-nilai luhur (moral) dari ajaran agama dan
nilai kemanusiaan yang terus berkembang dalam budaya dan pandangan hidup
bangsa. Kata-kata kunci untuk menyambut yang kuno dan yang modern adalah tetap
dalam perubahan, bahkan mengantisipasinya, dan menyadari sepenuhnya bahwa
perubahan-perubahan yang bergerak maju dan semakin cepat itu tidak selalu
bergerak linear menurut hukum sebab akibat dan dapat diprediksi.
7. Konektivitas
Dalam zaman modern ini, tidak ada satu entitas yang mampu
berdiri sendiri. Semuanya terkoneksi antara satu dengan yang lain dalam suatu
jaringan kerja. Koneksitas bukan hanya sekedar jaringan kerja computer dan
jaringan global, melainkan suatu fenomena di mana suatu entitas dari suatu
kemajuan teknologi dapat masuk ke dalam suatu jaringan kerja global. Saat ini,
kita sulit mengisolasi diri tetap dalam kehidupan alami tanpa terkontaminasi
oleh kehidupan modern yang penuh dengan rekayasa dan barang pengawet.
8. Konvergensi
Konvergensi muncul bila dua system yang berbeda bergerak
menuju satu titik temu atau suatu pola tanpa meleburkan diri ke dalam satu system.
Namun, berkat teknologi yang semakin canggih dapat diperoleh model baru yang
lebih efektif, produktif, efisien, murah, dan dengan kualitas yang lebih baik.
Dalam era informasi global, terjadi konvergensi yang membawa benturan ide,
tradisi, system, dan sebagainya. Dari silang pendapat ini kemudian terdapat
nilai-nilai baru yang secara universal dapat diterima oleh semua pihak,
disamping tetap menyisakan nilai-nilai lama yang berbeda.
9. Konsolidasi
Pada era
global, terdapat kecenderungan dari berbagai subsistem yang tadinya independen
kemudian mengadakan konsolidasi ke dalam kesatuan unit atau blok yang lebih
besar sekaligus dengan strategi baru untuk mendapatkan hasil yang lebih baik.
Kebutuhan untuk melakukan konsolidasi tidak terbatas pada bidang bisnis saja,
tetapi juga pada semua bidang, termasuk bidang agama.
10. Rasionalisasi
Semua system dalam era globalisasi cenderung berpikir ulang
dan mengevaluasi kembali alat-alat dan strateginya agar lebih efektif, efisien,
dan produktif dalam mencapai tujuannya. Sering kali hal itu dilakukan dengan
men-setting ulang atau merumuskan kembali tujuan yang ingin dicapai atau
meredefinisikan visi, misi, orientasasi, tujuan, strategi, alat, SDM-nya, dan
sebagainya; demi tercapainya cita-cita yang dituju.
11. Paradoks Global
Paradoks global benar-benar telah membudaya dalam tata
kehidupan modern di abad ke-21. Paradoks merupakan suatu perumusan atau
pernyataan yang absurd, membingungkan karena tampak bertentangan. Sebab, di
dalamnya berisi dua entitas yang saling bertentangan satu sama lain, tetapi
dikemas dalam satu perumusan atau satu pernyataan. Meski demikian, paradoks
tetap abash dan dibenarkan, misalnya “ lebih sedikit adalah lebih banyak”.
Pernyataan tersebut berasal dari bidang arsitektur yang maksudnya adalah makin
sedikit anda mengacaukan suatu gedung dengan hiasan, makin anggun gedung
dimaksud.
Paradoks merupakan keniscayaan yang tidak terhindarkan dalam
kehidupan. Tetapi, paradoks dalam kehidupan modern terasa lebih menggugah dan
mendorong untuk berpikir lebih tajam dan cerdik.
12. Kekuatan Pikiran
Sejarah mencatat, orang berilmu selalu mendapatkan kedudukan
social yang lebih tinggi dan penting. Makin tinggi ilmu yang disandangnya,
makin tinggi dan penting kedudukan sosialnya. Sebaliknya, jika makin maju dan
modern suatu masyarakat, maka makin memberikan peluang bagi warganya untuk
meraih ilmu dan kedudukan yang lebih tinggi. Kekuatan dan kemampuan ilmu dapat
lebih cepat dan lebih dahsyat dari pada perkembangan pemikiran penciptanya.
Sering kali manusia yang menciptakannya terkejut dan terjeran-heran menyaksikan
dampak atau implikasi dan temuannya. Denis Waetley, dalam Jamal Ma’mur Asmani
mengatakan bahwa pengetahuan adalah kekuasaan.
b.
Tantangan
Internal
Selain tantangan eksternal, tantangan
internal pendidikan Indonesia adalah kebijakan pemerintah yang masih belum
progresif, baik Orde Lama, Orde Baru, dan Orde Reformasi.
Pertama, Orde Lama (1945-1965).
System Pendidikan Nasional diselenggarakan berdasarkan Undang-undang No. 4
Tahun 1950 dan dengan UU No. 12 Tahun 1945 yang menyatakan berlakunya UU No. 4
Tahun 1950 di seluruh Republik Indonesia, selanjutnya dilengkapi dengan
persetujuan parlemen, dan beberapa Kepres yang mengiringinya untuk
kebijaksanaan-kebijaksanaan yang levelnya instrumental dan operasional. Misalnya,
inpres No. 8 Tahun 1955 tentang pedoman belajar di luar negeri, UU No. 8 Tahun
1990 tentang Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), PP No. 38 Tahun 1992
tentang Tenaga Kependidikan dan sebagainya.
Kedua, Orde Baru, dari 1965-1998,
System Pendidikan Nasional diselenggarakan berdasarkan UU no. 2 Tahun 1989, dan
diikuti dengan perraturan-peraturan pemerintah pelaksanaannya seperti PP No. 27
tahun 1990 tentang pendidikan pra sekolah, dan PP No. 28, 29, dan 60 Tahun 1990
bertutur tentang pendidikan Pendidikan Dasar Menengah, dan Pendidikan Tinggi,
dan sebagainya.
Seiring keadaan tersebut, UU No. 2
tahun 1989 yang merupakan produk Orde Baru, juga semakin terasa
ketidaksesuaiannya dengan tuntutan global. Dalam pelaksanaan UU No. 2 Tahun
1989 sangat terasa:
Ø Setralisasi. Kerja pendidikan diatur
secara memusat, dari pusat sampai ke pelosok-pelosok daerah yang sangat
terpencil, meliputi kurikulum, metode ajar, tenaga kependidikan, penilaian,
ijazah, otoritas penyelenggaraaannya, dana sarana, dan sebagainya.
Ø Tidak demokratis. Adanya
sekolah-sekolah negeri dan swasta yang berbeda secara diskriminatif, meliputi
dana, sarana, otoritas, dan pengakuan terhadap ijazahnya. Baik buruknya sekolah
swasta diakui dan ditentukan oleh pemerintah, bukan oleh pasar dan pengguna jasa
pendidikan, dan sebagainya.
Ø Penyelenggaraan lembaga-lembaga
pendidikan dilaksanakan di bawah otoritas kekuasaan, lengkap dengan otoritas
administrasi berakurasi pemerintahan. Padahal, pendidikan adalah kerja akademik
dan bukan kerja perkantoran pemerintahan. Tidak berbeda antara menyelenggarakan
kantor camat atau kelurahan dengan menyelenggarakan sekolah atau perguruan. Hal
ini berlaku untuk semua jenis dan jenjang pendidikan. Misalnya,
penyelenggarakan perguruan tinggi (PT).
DAFTAR PUSTAKA
Ø Al-Ghazali, Imam “Mukhtashar Ihya’ Ulumuddin(Ringkasan Ihya’
Ulumuddin), Penerjemah Zeid Husein Al-Hamid, Pustaka Amani, Cetakan II, Jakarta Agustus 2007.
Ø Asmani, Ma’mur Jamal, Manajemen
pengelola Kepemimpinan Pendidikan Profesional, DIVA Pres, Yogyakarta, Cet. I,
Juni 2009.
Ø Danim, Sudarwan, Prof. Dr, Visi Baru
Manajemen Sekolah Dari unit Birokrasi ke lembaga akademik, Bumi Aksara,
Jakarta, Cet. 3, Juli 2008.
Ø Hamdan, H, Drs. M.Pd.I, Paradigma
Baru Pendidikan Muhammadiyah, Ar-Ruzzmedia, Jakarta, Cet. I, Januari 2009.
Ø Hasbullah, M.Pd, Dasar-Dasar Ilmu
Pendidikan, CV. Rajawali Pers, Jakarta,
Cet. I, 1997.
Ø Herabudin, Drs. M.Pd, Administrasi
dan Supervisis Pendidikan, CV. Pustaka Setia,
Bandung, Cet. I, 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar