Minggu, 12 Juli 2015

Prinsif dasar pelaksanan evaluasi pendidikan jasmani di sekolah

A.    Prinsif dasar pelaksanan evaluasi pendidikan jasmani di sekolah
Proses pembelajaran merupakan sebuah rangkaian kegiatan yang dimulai dari merencanakan, melaksanakan sampai dengan evaluasi serta  menyelenggarakan tindak lanjut dalam kegiatan belajar-mengajar. Tingka keberhasilan guru Pendidikan Jasmani dalam tugas mengajar, dapat dilihat dari hasil belajar yang dicapai oleh para muridnya. Untuk mengetahui hasil yang dicapai oleh muridnya tersebut, guru perlu melakukan suatu kegiatan evaluasi terhadap kegiatan belajar siswa.  Evaluasi merupakan suatu bahan yang digunakan dalam memproleh informasi.  Hasil kegiatan evaluasi tersebut akan memberikan gambaran kepada guru dalam menyusun program berikutnya.  Gambaran tersebut dapat bersifat baik atau sebaliknya, dengan demikian akan memberi kesempatan kepada guru untuk melakukan program perbaikan (remidial) atau pengayaan.

a.      Prinsip-Prinsip Evaluasi
Sebagai seorang guru yang profesional untuk melakukan evaluasi atau menilai muridnya perlu memperhatikan beberapa prinsip-prinsip penilaian sebagai berikut:
1.      Objektif
Setiap guru untuk menilai muridnya harus bersifat objektif tanpa dipengaruhi oleh pribadinya. Apa yang dinilai oleh guru tersebut tidak membedakan murid yang satu dengan murid lainnya,  yang disenangi atau tidak disenangi sehingga nilai yang dihasilkan oleh para murid tersebut betul-betul merupakan hasil yang didapatkan oleh murid sendiri yang sebenarnya.

2.      Reliabel
Dalam menilai murid dengan instrumen penilai dapat dipercaya dan diandalkan, instrumen penilaian tersebut, dilaksanakan dengan sistimatis dan kriteria yang jelas keberhasilannya serta dapat dilaksanakan oleh siapa saja.

3.      Menyeluruh
penilaian ini bersifat menyeluruh yang meliputi aspek proses pembelajaran dan keberhasilannya sehingga terlihat perubahan tingkah laku murid. Dengan demikian penilaian yang bersifat menyeluruh tersebut meliputi pengetahuan, sikap, keterampilan dan kemampuan terhadap nilai yang berlaku di masyarakat.

4.      Berkesinambungan
Penilaian dilakukan secara terencana bertahap, dan terus-menerus. Dengan demikian akan mendapatkan gambaran tentang hasil dari pembelajaran berupa perubahan tingkah laku siswa yang meliputi pengetahuan sikap dan keterampilan.

B.    Manfaat Evaluasi
Adapun manfaat yang terdapat dalam  kegiatan evaluasi pendidikan jasmani yaitu:
Ø  Evalauasi dapat memberikan dorongan atau motivasi bagi peserta didik dalam berolahraga.
Ø  Evaluasi untuk memberi bantuan dalam pengelompokan peserta didik untuk tujuan-tujuan tertentu.
Ø  Evaluasi memberikan data bukti untuk dilaporkan  kepada orang tua  dan masyarakat , yaitu pihak-pihak yang memerlukan  keterangan-keterangan  tentang seseorang anak-didik
Ø  Evaluasi bertujuan untuk mengetahui letak kelemahan-kelemahan peserta didik
Ø  Evaluasi untuk mengetahui apa yang telah  dicapai dalam pelajaran olahraga
Ø  Evaluasi dapat memberikan data untuk keperluan penelitian atau risert.
Ø  Evaluasi bertujuan untuk mengetahui  letak kelemahan dimana potensi anak-didik itu berbeda
Ø  Evaluasi  untuk mengadakan seleksi
Ø  Evaluasi dapat memberikan  bantuan dalam bimbingan kearah pemilihan yang sesuai dengan kemampuan peserta didik
Ø  Pentingnya evaluasi untuk memantau kemajuan dan pencapaian  tujuan belajar

C.     Tantangan Pelaksanaan Evaluasi Pendidikan Jasmani Di Sekolah  
Dunia yang semakin mengglobal sekarang ini, bergerak dan berubah semakin cepat dan kompetitif terutama dalam ilmu pengetahuan dan teknologi. Semua bidang mengalami pergeseran dan tantangan, termasuk lembaga pendidikan. Lembaga pendidikan menghadapi tantangan serius untuk mampu mengikuti sekaligus berada digarda depan perubahan global tersebut. Kalau tidak mampu menjawabnya, maka lembaga pendidikan tidak akan berwibawa di hadapan roda dinamika zaman yang berjalan dengan cepat. Bahkan, lembaga pendidikan akan dianggap tidak mampu mengantisipasi realitas kekinian yang terjadi.
Karena itu, tidak ada waktu santai bagi dunia pendidikan dalam merespon secara cepat perubahan global tersebut. Ia harus mendinamisasi diri secara massif dan akseleratif agar mampu mengejar ketertinggalan dan mampu memimpin perubahan masa depan yang meniscayakan kreativitas tinggi, produktivitas memadai, dan daya jangkau yang mendunia. Reformasi besar-besaran harus segera dilakukan lembaga pendidikan jika tetap ingin survive dan memenangkan kompetensi terbuka. Infra dan supra struktur harus dilengkapi, didefinisikan ulang, dan diorientasikan ulang secara efektif, baik konsep maupun implementasinya.
Laporan kompas (20/4/2009) menjelaskan, betapa prguruan-perguruan tinggi disingapura sudah jauh-jauh hari mengirim tim khusus untuk mengamati dan bernegosiasi dengan para pelajar berprestasi di Indonesia dengan iming-iming fasilitas memadai dan masa depan yang prospektif agar mereka melanjutkan studi dan bekerja disana. Ini adalah tamparan keras bangsa ini. Asset-aset potensial masa depan ditelantarkan bangsa sendiri dan dimanfaatkan pihak asing untuk kepentingannya.
Kalau realitasnya seperti ini, kapan bangsa ini bisa sejajar dengan bangsa-bangsa yang maju. Jika sumber daya manusia yang cerdas dan kreatif diangkut ke negeri asing dan dijadikan tenaga professional di negeri mereka, maka yang tersisa di negeri ini tentu kader-kader muda yang rendah kualitasnya, kurang percaya diri menghadapi perubahan, dan malas belajar. Kedepan bangsa ini menjadi bangsa yang miskin dan terbelakang, menjadi budak di negeri sendiri, tanahnya menjadi rebutan investor asing dan kesejahteraan semakin jauh dari harapan.
Disinilah urgensi lembaga pendidikan meneropong tantangan-tantangan dunia dengan kecepatan tinggi, mendeskripsikannya secara detail, menyiapkan langkah-langkah terukur dan sistematis, dan berjuang mewujudkan mimpi besar sebagai Negara yang melek ilmu pengetahuan dan teknologi. Murid-murid berprestasi diperhatikan dengan serius, diberikan beasiswa penuh untuk melanjutkan ke tingkat yang lebih tinggi di berbagai perguruan tinggi, baik di dalam dan luar negeri, dan memberikan prospek pekerjaan cerah sesuai dengan bidang keahliannya. dari sinilah, pelan tapi pasti, bangsa ini akan mengalami perkembangan signifikan dalam penguasaan iptek. Intinya semua berawal dari penataan lembaga pendidikan yang efektif yang melahirkan aktor-aktor  genius masa depan yang kreatif.
Prof. Dr. Mastuhu, M.Ed memotret tentang tantangan lembaga pendidikan dalam dua kategori, yaitu tantangan eksternal dan internal.
a.      Tantangan eksternal
Adapun tantangan eksternal yang dirasakan dan dialami dunia pendidikan saat ini antara lain:
1.      Globalisasi
Globalisasi sering diterjemahkan dengan istilah mendunia. Suatu entitas, betapa pun kecilnya, disampaikan oleh siapa pun, di mana pun dan kapan pun, akan dengan cepat menyebar ke seluruh pelosok dunia, baik berupa ide, gagasan, data, informasi, produksi, pembangunan, sabotase, dan sebagainya; begitu disampaikan, saat ini pula diketahui oleh semua orang di seluruh dunia.
Globalisasi, selain menghadirkan peluang positif, juga dapat menghadirkan peluang negatif, yaitu menimbulkan keresahan, penderitaan, dan penyesatan.
2.      Kompleksitas
Prof. Dr. mastuhu, M.Ed memotret tentang tantangan lembaga pendidikan dalam dua kategori, yaitu tantangan  eksternal dan internal, Menata Ulang Pemikiran Sistem Pendidikan Nasional dalam Abad 21 (2003). Kompleksitas mengesankan bahwa sesuatu terjadi secara serentak, sekaligus, dalam waktu yang sama, dan semrawut. Saat ini, semua pihak, terutama para pesaing, pemimpin perusahan, supplier, distributor, ilmuwan, dan pemimpin, berada dan berlomba dalam perubahan yang terus menerus.

3.      Turbulence
Turbulence adalah suatu daya atau kekuatan yang dahsyat bagaikan membangunkan harimau tidur di tengah-tengah system kehidupan yang berjalan rutin, normal dan damai. Turbulence berasal dari istilah yang menggambarkan kekuatan dahsyat dari tengah mesin seperti “mesin turbo” untuk menggambarkan menggambarkan kekuatan mobil yang berkemampuan tinggi. Hasil dari Turbulence adalah daya ledak atau daya ubah yang luar biasa, memporak-porandakan system peluang emas bagi para pelaku system.

4.       Dinamika
Inti pengertian dinamika adalah perubahan. Suka atau tidak suka, kita harus menyambut perubahan. Paradigma baru dalam memandang dinamika adalah makin dinamis sesuatu, ia makin stabil, dan stabilitas yang makin kokoh akan semakin menjamin dinamika tinggi pula bagaikan “gangsing” yang berputar cepat, makin cepat perputaran, makin stabil keseimbangannya. Sebaliknya, makin lambat perputaran atau gerakannya, makin tidak stabil dan akhirnya jatuh. Tetapi masalahnya adalah gerakan dinamika yang semakin tinggi juga membuka peluang benturan antara berbagai komponen atau mata rantai elemen yang menjadi unsur-unsur dari system yang bersangkutan, dan terbuka peluang catastrophes (kecelakaan atau kegagalan).

5.      Akselerasi
Akselerasi adalah gerak naik atau gerak maju yang dalam era informasi hal itu adalah perubahan, dengan kata-kata kunci akselerasi cepat dan meningkat; di dalam dunia bisnis, faktor kunci yang menentukan sukses adalah kompetisi.

6.      Keberlanjutan dari Kuno Menuju modern
Ada suatu kenyataan bahwa yang modern tidak begitu saja lahir dan mengada atau exist tanpa yang tradisional. Sebaiknya, yang tradisional hanya akan menjadi dongeng masa lalu tanpa diinjeksi dengan temuan, nilai, pemikiran, semangat, dan harapan baru. Dalam zaman modern ini, orang dituntut untuk tetap melestarikan nilai-nilai lama, yang luhur yang bermoral dan seterusnya, sekalipun dari dimensi teknokratiknya terdapat hal-hal tertentu yang harus sudah ditinggalkan karena sudah tidak cocok lagi dengan masalah yang dihadapi dengan tetap bersumber pada nilai-nilai luhur (moral) dari ajaran agama dan nilai kemanusiaan yang terus berkembang dalam budaya dan pandangan hidup bangsa. Kata-kata kunci untuk menyambut yang kuno dan yang modern adalah tetap dalam perubahan, bahkan mengantisipasinya, dan menyadari sepenuhnya bahwa perubahan-perubahan yang bergerak maju dan semakin cepat itu tidak selalu bergerak linear menurut hukum sebab akibat dan dapat diprediksi.

7.      Konektivitas
Dalam zaman modern ini, tidak ada satu entitas yang mampu berdiri sendiri. Semuanya terkoneksi antara satu dengan yang lain dalam suatu jaringan kerja. Koneksitas bukan hanya sekedar jaringan kerja computer dan jaringan global, melainkan suatu fenomena di mana suatu entitas dari suatu kemajuan teknologi dapat masuk ke dalam suatu jaringan kerja global. Saat ini, kita sulit mengisolasi diri tetap dalam kehidupan alami tanpa terkontaminasi oleh kehidupan modern yang penuh dengan rekayasa dan barang pengawet.

8.      Konvergensi
Konvergensi muncul bila dua system yang berbeda bergerak menuju satu titik temu atau suatu pola tanpa meleburkan diri ke dalam satu system. Namun, berkat teknologi yang semakin canggih dapat diperoleh model baru yang lebih efektif, produktif, efisien, murah, dan dengan kualitas yang lebih baik. Dalam era informasi global, terjadi konvergensi yang membawa benturan ide, tradisi, system, dan sebagainya. Dari silang pendapat ini kemudian terdapat nilai-nilai baru yang secara universal dapat diterima oleh semua pihak, disamping tetap menyisakan nilai-nilai lama yang berbeda.

9.       Konsolidasi
Pada era global, terdapat kecenderungan dari berbagai subsistem yang tadinya independen kemudian mengadakan konsolidasi ke dalam kesatuan unit atau blok yang lebih besar sekaligus dengan strategi baru untuk mendapatkan hasil yang lebih baik. Kebutuhan untuk melakukan konsolidasi tidak terbatas pada bidang bisnis saja, tetapi juga pada semua bidang, termasuk bidang agama.

10.  Rasionalisasi
Semua system dalam era globalisasi cenderung berpikir ulang dan mengevaluasi kembali alat-alat dan strateginya agar lebih efektif, efisien, dan produktif dalam mencapai tujuannya. Sering kali hal itu dilakukan dengan men-setting ulang atau merumuskan kembali tujuan yang ingin dicapai atau meredefinisikan visi, misi, orientasasi, tujuan, strategi, alat, SDM-nya, dan sebagainya; demi tercapainya cita-cita yang dituju.

11.  Paradoks Global
Paradoks global benar-benar telah membudaya dalam tata kehidupan modern di abad ke-21. Paradoks merupakan suatu perumusan atau pernyataan yang absurd, membingungkan karena tampak bertentangan. Sebab, di dalamnya berisi dua entitas yang saling bertentangan satu sama lain, tetapi dikemas dalam satu perumusan atau satu pernyataan. Meski demikian, paradoks tetap abash dan dibenarkan, misalnya “ lebih sedikit adalah lebih banyak”. Pernyataan tersebut berasal dari bidang arsitektur yang maksudnya adalah makin sedikit anda mengacaukan suatu gedung dengan hiasan, makin anggun gedung dimaksud.
Paradoks merupakan keniscayaan yang tidak terhindarkan dalam kehidupan. Tetapi, paradoks dalam kehidupan modern terasa lebih menggugah dan mendorong untuk berpikir lebih tajam dan cerdik.

12.  Kekuatan Pikiran
Sejarah mencatat, orang berilmu selalu mendapatkan kedudukan social yang lebih tinggi dan penting. Makin tinggi ilmu yang disandangnya, makin tinggi dan penting kedudukan sosialnya. Sebaliknya, jika makin maju dan modern suatu masyarakat, maka makin memberikan peluang bagi warganya untuk meraih ilmu dan kedudukan yang lebih tinggi. Kekuatan dan kemampuan ilmu dapat lebih cepat dan lebih dahsyat dari pada perkembangan pemikiran penciptanya. Sering kali manusia yang menciptakannya terkejut dan terjeran-heran menyaksikan dampak atau implikasi dan temuannya. Denis Waetley, dalam Jamal Ma’mur Asmani mengatakan bahwa pengetahuan adalah kekuasaan.

b.      Tantangan Internal
Selain tantangan eksternal, tantangan internal pendidikan Indonesia adalah kebijakan pemerintah yang masih belum progresif, baik Orde Lama, Orde Baru, dan Orde Reformasi.
Pertama, Orde Lama (1945-1965). System Pendidikan Nasional diselenggarakan berdasarkan Undang-undang No. 4 Tahun 1950 dan dengan UU No. 12 Tahun 1945 yang menyatakan berlakunya UU No. 4 Tahun 1950 di seluruh Republik Indonesia, selanjutnya dilengkapi dengan persetujuan parlemen, dan beberapa Kepres yang mengiringinya untuk kebijaksanaan-kebijaksanaan yang levelnya instrumental dan operasional. Misalnya, inpres No. 8 Tahun 1955 tentang pedoman belajar di luar negeri, UU No. 8 Tahun 1990 tentang Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), PP No. 38 Tahun 1992 tentang Tenaga Kependidikan dan sebagainya.
Kedua, Orde Baru, dari 1965-1998, System Pendidikan Nasional diselenggarakan berdasarkan UU no. 2 Tahun 1989, dan diikuti dengan perraturan-peraturan pemerintah pelaksanaannya seperti PP No. 27 tahun 1990 tentang pendidikan pra sekolah, dan PP No. 28, 29, dan 60 Tahun 1990 bertutur tentang pendidikan Pendidikan Dasar Menengah, dan Pendidikan Tinggi, dan sebagainya.
Seiring keadaan tersebut, UU No. 2 tahun 1989 yang merupakan produk Orde Baru, juga semakin terasa ketidaksesuaiannya dengan tuntutan global. Dalam pelaksanaan UU No. 2 Tahun 1989 sangat terasa:
Ø  Setralisasi. Kerja pendidikan diatur secara memusat, dari pusat sampai ke pelosok-pelosok daerah yang sangat terpencil, meliputi kurikulum, metode ajar, tenaga kependidikan, penilaian, ijazah, otoritas penyelenggaraaannya, dana sarana, dan sebagainya.
Ø  Tidak demokratis. Adanya sekolah-sekolah negeri dan swasta yang berbeda secara diskriminatif, meliputi dana, sarana, otoritas, dan pengakuan terhadap ijazahnya. Baik buruknya sekolah swasta diakui dan ditentukan oleh pemerintah, bukan oleh pasar dan pengguna jasa pendidikan, dan sebagainya.
Ø  Penyelenggaraan lembaga-lembaga pendidikan dilaksanakan di bawah otoritas kekuasaan, lengkap dengan otoritas administrasi berakurasi pemerintahan. Padahal, pendidikan adalah kerja akademik dan bukan kerja perkantoran pemerintahan. Tidak berbeda antara menyelenggarakan kantor camat atau kelurahan dengan menyelenggarakan sekolah atau perguruan. Hal ini berlaku untuk semua jenis dan jenjang pendidikan. Misalnya, penyelenggarakan perguruan tinggi (PT).


DAFTAR PUSTAKA
Ø Al-Ghazali, Imam  “Mukhtashar Ihya’ Ulumuddin(Ringkasan Ihya’ Ulumuddin), Penerjemah Zeid Husein Al-Hamid, Pustaka Amani, Cetakan II,   Jakarta Agustus 2007.
Ø Asmani, Ma’mur Jamal, Manajemen pengelola Kepemimpinan Pendidikan Profesional, DIVA Pres, Yogyakarta, Cet. I, Juni 2009.
Ø Danim, Sudarwan, Prof. Dr, Visi Baru Manajemen Sekolah Dari unit Birokrasi ke lembaga akademik, Bumi Aksara, Jakarta, Cet. 3, Juli  2008.
Ø Hamdan, H, Drs. M.Pd.I, Paradigma Baru Pendidikan Muhammadiyah, Ar-Ruzzmedia, Jakarta, Cet. I, Januari 2009.
Ø Hasbullah, M.Pd, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan, CV. Rajawali Pers,  Jakarta, Cet. I,  1997.

Ø Herabudin, Drs. M.Pd, Administrasi dan Supervisis Pendidikan, CV. Pustaka Setia,  Bandung, Cet. I,  2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar